Izinkan aku
untuk bercerita tentang cinta kasih kepada seorang pria yang
dinobatkan menjadi 'orang yang paling berpengaruh di dunia'. Bahkan diakui oleh
orang-orang non muslim. Walaupun beliau telah 'meninggal', namun menurutku
hanya tubuhnya saja yang meninggal. Beliau masih suka muncul di mimpi orang
yang beriman kan? Namanya selalu di sebut, ajaran dan pengaruhnya selalu hidup
hingga dunia ini berakhir. Bahkan nama terpopuler di dunia adalah
"Muhammad" atau "Ahmad" atau "Ahmed". Itu salah satu
yang menunjukkan betapa hebatnya beliau bukan?
Ya, memang
benar, setiap individu yang mengaku Islam pasti mengakui cinta kepada Nabi
Muhammad. Namun pada kenyataannya, sikap dan pengakuan dapat dikatakan tidak
singkron. Termasuk diriku ini. Aku bukanlah orang baik, belum. Aku sangat
berharap bisa menjadi orang yang baik, sabar, tidak mudah marah, dan pastinya
taat kepada Allah SWT. Aku sangat ingin dapat mencintai Allah dan Nabi Muhammad
melebihi apapun. Aku pernah merasakan itu – rasanya sangat nyaman, dan seisi
dunia tidak penting sama sekali untukku. Kematian, walau saat itu aku sedang
tidak sedih, namun rasanya aku ingin. Tentu dalam keadaan husnul khotimah.
Aamiin. – Tapi entah mengapa hati ini terbolak-balik. Entah mengapa sulit
untukku untuk selalu merasakannya. Ketika bukan mulutku, namun hati kecilku
yang berkata “aku ingin”, rasanya sangat sedih hingga meneteskan air mata.
Bukan, mungkin hanya karena aku yang ‘cengeng’.
Saat itu,
detik-detik aku memasuki Roudhoh – Dengan segala dosa yang aku bawa, dan dengan
segala dosa yang pastinya ‘akan’ aku perbuat dengan bodohnya – aku sangat
merasakan “aku beruntung” bisa kesini. Aku berpikir “aku akan membaca banyak
doa di dalam, membaca buku ini, karena permohonan akan di ijabah kan disini?”.
Aku memasuki
Raudhoh. Di dalamnya aku benar-benar melupakan semua isi dunia, aku tak
pedulikan kakakku berada dimana, apa di dekatku ada orang yang ku kenal atau
tidak, apa ada orang Indonesia disini. Tidak. Hanya ada akhirat, akhirat,
akhirat. Aku membawa buku berisi berlembar-lembar permohonanku, dan
berlembar-lembar permohonan titipan. Namun aku benar-benar melupakannya.
Keajaiban? Iya sangat. Aku merindukan masa itu, dimana aku tidak sama sekali
peduli selain akhirat. Selain itu, ada sesuatu yang aneh, hingga hatiku
benar-benar merasakan sesuatu yang tidak pernah terjadi. Aku melihat tembok
berwarna hijau, tinggi di sebelah kiri. Ada yang janggal. Melihat tembok
tersebut hatiku biasa saja. Namun ketika melihat tembok kiri paling depan,
walau bentuk dan warnanya sama, tapi hatiku merasa tersentuh, air mata langsung
menetes entah kenapa. Kulihat tembok yang tadi (bukan yang paling depan) biasa
lagi, tak merasa apapun. Kemudian aku melihat ke tembok kiri paling depan lagi,
air mataku menetes lagi dan hatiku tersentuh lagi. Apa ini? Aku mengulangnya
hingga 3x. Ada beberapa yang memanjati tembok hijau itu, namun sepertinya tak
ada yang kuat untuk memanjati tembok depan tersebut. Ada apa disitu? Aku tak
memikirkannya. Aku hanya berharap bisa bebas berdoa disini kapanpun, tanpa
berdesakkan. Sayang, aku wanita, tak bisa selalu memasuki Raudhoh seperti
halnya pria.
Ketika aku
berjalan keluar Raudhoh, aku tak bersama orang yang ku kenal, namun ada orang
Indonesia yang berkata “makam Rasul disebelah kiri paling depan, mungkin itu
kenapa Raudhoh bagian wanita ga boleh difoto”. Hatiku tersentuh lagi, dan aku
mulai menangis lagi. Menyesal, aku ingin bisa ke tembok depan itu, setidaknya
mengucapkan “Assalamu’alaikum yaa Rasulullah, aku ingin bersamamu, aku
mencintaimu, tolong aku agar bisa bersamamu di Surga Firdaus-Nya kelak” dalam
jarak dekat. Ya, aku ingin mengatakan itu dalam jarak yang sangat dekat. Aku
berharap ini bukan terakhir kalinya aku ke sini.
Ini aku, yang
bergelimang dosa – andai dosa memiliki berat, aku pasti sudah mati tak
berbentuk karena tertimpa dosa yang sedang kupikul –
Ini aku, yang
dengan munafiknya berkata bahwa aku cinta Nabi Muhammad – namun suka
melupakannya dan mengabaikan perintahnya –
Ini aku, yang
seharusnya tak pantas mengucapkan “Aku ingin masuk surga” – karena dengan
bodohnya aku selalu berbuat lalai dan dosa –
Namun, aku
berharap dengan segala kebodohan ini, aku bisa bertemu dengannya. Sosok yang
tak tertandingi, tak ada duanya. Bisa bercengkrama dengannya di Surga Firdaus
dengan ridho Allah. Aamiin.
Memang, besar
rasa sayangku kepadanya dan besar rasa sayangnya kepadaku, tidak akan pernah
sama. Beliau mengkhawatirkanku dan seluruh umat Islam akhir zaman bahkan
sebelum kami di lahirkan. Maka aneh rasanya, jika umat Islam akhir zaman khususnya
di Indonesia mengatakan “aku cinta Rasul” namun kepada sesama muslim saling
acuh tak acuh. Bukankah jika bertemu seharusnya saling menyapa, karena sesama
umat mulim itu bersaudara bukan? Ketika di Arab, aku merasakan begitu banyak
hal yang ku anggap rasis, namun tak jarang sesama wanita muslimah disana saling
memberi dan menyapa walau beda negara dan bahasa. Bahkan kadang tak tahu bahasa
yang dibicarakan. Tetapi karena ada rasa cinta kepada Allah dan Rasul yang
menyatukan kami.
Aku terharu
sekalipun merasa tak tahu diri. Karena nabi Muhammad begitu besar rasa
cintanya, walau aku tak selalu mengindahkannya. Juga karena Allah masih
mengabulkan doaku, walau dosaku begitu besar dan busuk.
Aku selalu
berharap bisa mencintaimu wahai nabiku, dan mencintai Allah sebagai tuhanku,
melebihi apapun. Aamiin.